Kaji Edan

Refleksi Onny Hendro

Saturday, June 03, 2006

Mudah


Esai Widi Yarmanto (GATRA)

DALAM hidup pasti ada masa di mana seseorang berubah dan dimudahkan Allah. Sengsara, difitnah orang, dipermalukan, sakit, misalnya, bisa menjadi pintu perubahan. Itu yang dialami Onny setelah koma sebulan dari kecelakaan pada 1995.


Begitu "bangun" dari tidurnya, ia berubah sensitif. Allah seolah membuka mata "ketiganya". Perilaku orang-orang yang membesuk dia tergambar jelas. Yang busuk, culas, dengki mewujud nyata. Seperti rekaman yang diputar ulang.

Buntut dari sensitivitas itu, dendamnya jadi mencuat. Akhirnya, kesadaran Onny tergugah. Ia berkesimpulan: "Jika otak ini dijejali pikiran negatif terus, hidup saya tak akan nyaman." Maka, perasaan dendam itu ditekan, sampai kerak terakhir. Hasilnya luar biasa. Ia jadi penyabar. Sifat jagoannya lenyap.

Dulu, jika mobilnya disalip kendaraan lain seenak udel, misalnya, emosinya kontan meledak. Mobil itu dikejar, dan bisa-bisa si pengendara dihajar. Seolah ia ingin memberi pelajaran agar orang tidak berlalu lintas semaunya.

Begitulah! Sebagai mualaf, Onny pergi haji pada 1997. Dan, tahun ini untuk yang kedua kalinya ia ke Tanah Suci lagi, tanpa direncana. Ceritanya, suatu hari ia ditawari teman untuk pergi haji memakai paspor hijau. "Saya diaku TKI, sebagai juru masak," katanya sepulang berhaji, dua pekan lalu.

Dari enam TKI pemohon visa, dua di-oke-kan termasuk dia. Tiba di Jeddah, dari enam orang TKI sepenerbangan, empat dipulangkan. Lagi-lagi langkah Onny dimudahkan. Pemeriksaan imigrasi lancar. Bahkan, petugas sempat meladeni dia kayak raja. Paspornya dicap tanpa ditanya ba-bi-bu. Tas bawaannya pun tak disentuh.

Pemeriksaan dirinya cuma beberapa menit, padahal, orang lain menunggu paling tidak dua jam. Yang mengherankan lagi, taksi yang ditumpanginya dipersilakan lewat di dua pintu check point. "Muka petugas seperti ditutupi tabir," katanya.

Namun, di Tanah Suci, Onny mengaku tetap "dijewer" Allah. Di depan Ka'bah, misalnya, rekannya bertanya: "Kenapa ONH kita mahal, ya? Padahal Malaysia lebih murah." Onny menjawab sekenanya: "Ya, pindahkan saja Ka'bah ke Monas, pasti ONH lebih murah."

"Masya Allah!" ujar temannya keheranan. Buru-buru Onny membekap mulut, meralat kelancangannya. Ia jadi teringat musim haji 1997. Waktu itu, usai tawaf, ia membasuh muka dengan air zamzam sembari berdoa: "Ya, Allah berilah kesehatan pada mataku."Seketika itu pula, mata minusnya jadi terang. "Tanpa kaca mata saya bisa melihat orang di lantai dua. Mata ini bisa kayak men-zoom," katanya. Wajahnya berbinar-binar. Rasanya, tiada nikmat lain selain saat itu.

Lalu, agar khusyuk berdoa, bersama ayahnya, Onny ke lantai dua. Pas di lantai tangga Masjidil Haram, ayahnya berbisik: "Lihat, ada wanita sangat cantik!" Begitu memandang wanita itu, mulut Onny seakan terkunci. Itulah wanita tercantik yang pernah dilihatnya. Anehnya, setelah itu, "Prepet-prepet mata saya kembali kabur," katanya.

Pengalaman haji 1997 itulah yang mendorong dia selalu menjaga ucapan, pikiran dan tindakannya. Tapi, Onny mengaku tak bisa diam dari keusilan. Ceritanya, selagi salat, ia melirik seorang berkulit hitam yang salat seenaknya, hingga menutupi tempat sujudnya. Dan, di telapak kaki orang itu menempal tanah. Konsentrasinya buyar. Ia pun membatin: "Jorok! Salat kok tidak wudlu."

Anehnya, pas ia bersujud, tahu-tahu kepalanya kayak diinjak orang. Ia ngomel dalam hati. Anehnya, setelah itu, kaki Onny seperti kena serangan asam urat. Dan rupanya, "jeweran" Allah tak berhenti di sini. Onny tak bisa menahan kentut. Usai berwudlu ia kentut lagi, dan kentut lagi. Bahkan, tinggal beberapa langkah dari sajadahnya pun ia batal lagi. Padahal, tempat air wudlu itu sejauh 400 meter, dan ditempuhnya dengan tertatih karena kakinya yang sakit.

Di Mekkah, Onny juga mencari oleh-oleh. Ia tertarik pada sebuah cincin bermata berlian imitasi. Tiruan tak apa, yang penting bisa mencorong saat dipakai. Apalagi, di atas mobil BMW. "Pasti tak ada yang nyangka ini palsu," kata Onny.

Persis di saat kesombongannya terucap, mobil BMW-nya yang dipakai famili di Tanah Air tabrakan. Ringsek! Dan, lagi-lagi, berita mobil penyok itu dijawab enteng. "Nggak apa, kan mobil itu diasuransikan," katanya.

Tapi celakanya, berbarengan dengan klaim asuransi itu disetujui, Pakdenya pasrah bongkokan minta uang padanya. Esoknya, famili yang lain juga mohon dibantu. Dua cek dikeluarkan. Yang mengherankan, jumlah cek itu persis senilai pembayaran dari asuransi. Ia geleng-geleng: "Mengapa bisa persis?" Walhasil, perbaikan BMW itu seperti dari kantong sendiri.


Namun, "jeweran" Allah itu tetap disyukuri, jika membandingkan tragedi Mina yang cuma beberapa menit berlalu. Pagi itu, sekitar pukul 09.00, ia melempar jamrah. Tenang, tanpa berdesakan. "Setelah itu, saya minggir, mencari ayam goreng," katanya.

Tiba-tiba beberapa helikopter terbang rendah. Tahu-tahu, di depan matanya, orang-orang bergelimpangan tak bernyawa. Tercatat 252 orang meninggal. "Masya Allah," katanya. Itu semua sudah kehendak Allah.

Tepat di Idul Adha itu, Onny juga "merayakan" ulang tahunnya ke-35 di depan Ka'bah. Hari itu, hijab atau tirai penutup hatinya seperti dibuka melalui kemudahan demi kemudahan yang ditunjukkan Allah. Hatinya jadi lebih sejuk. Tanpa terasa air matanya mengucur, mensyukuri nikmat Allah.

[Esai, GATRA, Edisi 16 Beredar Jumat 27 Februari 2004]
Catatan: Ilustrasi diambil dari Majalah GATRA pada artikel tersebut

1 Comments:

Anonymous andry said...

Berulang saya baca hal ini "Tiba-tiba beberapa helikopter terbang rendah. Tahu-tahu, di depan matanya, orang-orang bergelimpangan tak bernyawa."
Bisa dijelaskan maksud sebenarnya?

March 08, 2011 4:28 PM  

Post a Comment

<< HOME/HALAMAN MUKA